Kegiatan tersebut menghadirkan narasumber Ketua Bidang Pengkajian dan Penelitian Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Tengah, Dr. Desi Erawati, M.Ag. Dalam materinya, Desi menguraikan pedoman identifikasi aliran sesat. Salah satunya dengan melakukan doktrin sikap intoleran terhadap lingkungan sosial.
“Tahapan dari sikap intoleran hingga berujung pada aksi terorisme. Intoleran bibit awal yang jika tidak diatasi, bisa berkembang menjadi radikalisme. Puncaknya aksi terorisme yang merugikan semua pihak,” ungkap Desi.
Ia menekankan, pentingnya memahami siklus agar upaya pencegahan dapat dilakukan secara efektif. Media sosial berperan penting dalam upaya pencegahan. Media sosial bukan hanya platform penyebaran informasi, tetapi wadah yang strategis untuk sosialisasi dan edukasi, guna mencegah sikap-sikap intoleran dan radikal, di kalangan generasi X, Milenial, dan Z.
“Kita harus memanfaatkan media sosial sebagai garda terdepan untuk menyebarkan narasi perdamaian dan toleransi, menjangkau generasi muda yang sangat akrab dengan dunia digital,” ungkapnya.
Desi mengungkapkan, intoleran merupakan pendapat atau pikiran yang merupakan benih penolakan seseorang terhadap hak-hak sosial, politik, dan praktik keagamaan orang lain, seperti paham takfiri, anti-Pancasila, dan anti-NKRI. Bibit intoleran yang berkembang bisa menjadi gerakan radikalisme.
Radikalisme sendiri, jelas Desi, suatu ideologi (ide atau gagasan) atau paham dan cita-cita yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara kekerasan atau ekstrem. Radikalisme bisa berujung pada tindakan tororisme, yaitu sebuah gerakan atau perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror.
“Peran penyuluh agama sangat penting dalam mencegah munculnya sikap intoleran. Tugas dan fungsinya yang langsung berinteraksi dengan masyarakat menjadi sebuah cara mencegah muncul sikap intoleran di masyarakat,” tegas Desi. (Ris/Red1)